Bg

Berita - FUD -

FUD Adakan Diskusi Dosen Ke Tiga Tahun 2020: Memahami Psikoterapi Islam dan Tantangannya

30 Juni 2020

Sukoharjo – Selasa (30/06), Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta kembali mengadakan diskusi dosen. Kali ini, diskusi dosen tersebut merupakan diskusi putaran ketiga untuk tahun 2020, diisi oleh Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog (sekretaris program studi Tasawuf dan Psikoterapi), dimoderatori oleh Abraham Zakky Zulhazmi, M.A.Hum., dan dihadiri oleh jajaran dekanat dan para dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah. Diskusi dosen tersebut membahas tema tentang psikoterapi Islam dan tantangannya.

Pada awalnya, Saifuddin membahas tentang definisi psikologi dilanjutkan dengan sejarah psikologi. Membahas sejarah psikologi tidak terlepas dari pembahasan tentang berbagai mazhab psikologi, dimulai dari mazhab psikodinamika, keperilakuan/behavioristik, humanistik, transpersonal, sampai dengan mazhab psikologi Islam. Mazhab psikologi Islam ini yang kemudian melahirkan konsep dan praktik psikoterapi Islam. Pada dasarnya, psikoterapi Islam merupakan upaya penyembuhan gangguan kejiwaan dan abnormalitas kejiwaan menggunakan dalil agama Islam. Maka dari itu, bentuk psikoterapi Islam adalah berbagai ritual peribadatan, misalkan psikoterapi salat, psikoterapi zikir, psikoterapi mengaji, psikoterapi sabar, dan sejenisnya.

Berdasarkan hal ini, maka muncul berbagai tantangan dari psikoterapi Islam. Pertama, permasalahan netralitas. Psikoterapi Islam berasal dari psikologi Islam, dan psikologi Islam tumbuh dan berkembang sebagai gerakan yang mengkritisi mazhab-mazhab terdahulu. Sikap mengkritisi tersebut, selain didasarkan pada anggapan bahwa mazhab-mazhab terdahulu dianggap kurang holistik dalam memahami manusia, juga didasarkan pada bahwa kalangan Islam harus memiliki psikoterapi yang berlandaskan pada agama Islam itu sendiri. Berangkat dari dinamika ini, maka psikoterapi Islam berpotensi dianggap kurang netral karena berangkat dari dalil keagamaan. Tantangan ini melahirkan tantangan kedua, yaitu permasalahan kecermatan dan ketepatan. Akibat disebabkan oleh berangkat dari dalil keagamaan dan menolak psikoterapi mazhab terdahulu, maka ada kecenderungan untuk kurang cermat dalam memberikan teknik psikoterapi, dalam artian ada kecenderungan menganggap teknik psikoterapi Islam dapat menyembuhkan seluruh gangguan. Padahal, dalam psikoterapi, sangat mungkin dua orang mengalami gangguan yang sama namun karena faktornya berbeda maka akan diberikan dua teknik psikoterapi yang berbeda. Ini artinya, teknik psikoterapi disesuaikan dengan faktor penyebab gangguan. Sehingga, bukan seluruh gangguan kejiwaan disembuhkan dengan satu teknik psikoterapi.

Permasalahan ketiga adalah permaslaah universalitas. Psikoterapi Islam berangkat dari dalil keagamaan dan wujudnya pun ritual peribadatan Islam. Kondisi ini berpotensi psikoterapi Islam hanya dapat diberlakukan hanya pada orang Islam. Terlebih lagi berangkat dari konsep psikologi Islam yang menganggap kukur sebagai gangguan kepribadian dan tujuan psikoterapi Islam adalah mengembalikan fitrah manusia, maka akan memunculkan permasalahan jika diterapkan kepada orang selain beragama Islam, apakah orang tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu? Alternatif solusinya adalah psikoterapi Islam diterapkan dengan cara objektifitasi dan demistifikasi, yaitu berangkat dari dalil keislaman, namun praktiknya menggunakan bahasa dan tahapan yang umum. Permasalahan keempat adalah kualifikasi terapis. Psikoterapis Islam sebagai figur yang menjalankan psikoterapi Islam, harus memiliki dua kompetensi besar, yaitu kompetensi memahami dan menjalankan psikoterapi serta kompetensi keagamaan. Untuk kompetensi psikoterapi dan psikologi, dapat ditempuh dengan proses belajar di Magister Psikologi Profesi sehingga memperoleh sebutan psikolog (boleh menjalankan psikoterapi) dengan legalitas Surat Sebutan Psikolog dan Surat Izin Praktik Psikologi. Lalu, legalitas untuk kompetensi keagamaan apa? Alternatif solusi yang ditawarkan adalah psikoterapis memiliki legalitas sebagai psikolog dan berbaiat tarekat sebagai legalitas keagamaan, atau mengikuti workshop psikoterapi sekian jam.

Permasalahan kelima adalah kode etik. Misalkan, psikoterapi Islam rentan mengandung penghakiman yang didasarkan dari dalil keagamaan, sehingga dianggap kurang menerapkan prinsip penerimaan positif tanpa syarat. Misalkan, ketika ada orang cemas ingin menjalankan psikoterapi, maka psikoterapis Islam menganalisis penyebab masalah berdasarkan dosa masa lalu karena menurut psikoterapi Islam gangguan kejiwaan disebabkan oleh dosa. Akibat disebabkan oleh dosa, maka psikoterapis Islam akan rentan menghakimi orang tersebut. Maka, penerimaan positif tanpa syarat adalah prinsip psikoterapi yang penting. Penerimaan positif tanpa syarat bukan berarti menerima dan mengakui gangguan dan abnormalitas sebagai hal yang wajar dan normal, namun lebih pada sikap menerima klien apa adanya untuk menumbuhkan kepercayaan klien. Jika klien sudah percaya pada psikoterapis, maka psikoterapis dapat membimbing dan memberdayakan klien menuju perilaku normal dan sesuai dengan nilai dan norma. Permasalahan keenam adalah analisis. Akibat psikoterapi Islam berasal dari dalil keagamaan yang harus diyakini, maka individu yang belajar psikoterapi Islam kurang dapat menganalisis dinamika psikologis individu yang mengalami gangguan sekaligus proses penyembuhannya. Hal ini disebabkan kebanyakan akan menganalisis dengan ayat dan hadis sehingga dianggap kurang mendalam dan runtut.