Bg

Berita - FUD -

PRODI PSIKOLOGI ISLAM FUD GELAR SEMINAR PENGABDIAN MASYARAKAT

1 Maret 2021

Santri, di Manapun Tempat dan Perannya adalah Contoh Visual (Role Model) Keteladanan

Sabtu (27/2/2021), dosen Psikologi Islam Faktultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta melakukan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Berbasis Program Bermutu dengan tema, “Menjadi Santri Penggerak: Terampil Memahami Diri untuk Perubahan Diri dan Sosial,” di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Dawar, Mojosongo, Boyolali. Dosen Prodi Psikologi Islam yang mengikuti Pengabdian Masyarakat di tempat ini adalah Triyono, M.Si., Vera Imanti, S.Psi., M.Psi., Psikolog., dan Dhestina Religia Mujahid, S.Psi., M.A., M.M. Tujuan kegiatan pengabdian ini adalah berbagi pengetahuan (knowledge sharing) tentang strategi memahami diri, dimulai dari menemukan jati diri, mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan yang dimiliki, dan memaksimalkan potensi diri. Dengan kemampuan memahami diri, santri diharapkan mampu menjadi role model dan memberikan kemanfaat untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Triyono menjelaskan bahwa santri merupakan contoh visual atau role model keteladanan di masyarakat berkat peran-peran yang dilakukannya. Terdapat beberapa Pahlawan Nasional yang berlatar belakang santri, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan KH. Wahid Hasyim. Pada bidang politik pemerintahan, sosok santri pernah menjadi Presiden (Gus Dur), menteri kabinet, anggota DPR/MPR, duta besar, gubernur, walikota, bupati dan jabatan-jabatan publik lainnya. Hal ini menjadi penanda bahwa menjadi santri, karirnya tidak terbatas pada pengabdian pada bidang sosial kemasyarakatan saja. Tetapi, bisa merambah ke berbagai bidang kehidupan lain.

Santri menurut Triyono, setidaknya memiliki tiga cakupan makna, yaitu santri sebagai identitas kesarjanaan (keilmuan), identitas spiritualitas, dan identitas pergerakan. Maka, di manapun tempat dan perannya santri akan selalu menjadi contoh visual (role model) keteladanan. Role model sendiri berarti seseorang yang dijadikan oleh seseorang/sekelompok orang sebagai teladan hidup, panutan, atau pemberi inspirasi bagi orang lain. Santri perlu bangga dengan identitas dirinya tersebut. Bangga menjadi santri (proud to be a santri) berarti merasa bangga menjadi bagian dari identitas sebagai santri dan akan mengerahkan potensi yang dimilik untuk menjaga dan menjunjung tingga identitas ke-santrian-nya tersebut, kapan dan di manapun berada.

 “Santri itu harus siap ketika ditunjuk menjadi imam salat jenazah, khatib Jumat, atau memberikan tausiyah secara dadakan atau tanpa persiapan. Sebab, santri itu sudah mumpuni dalam hal ilmu agama dan pastinya punya reliogisitas-spritualitas yang tinggi. Jadi, masyarakat sangat percaya dengan kapasitas dan kapabelitas santri. Jadi, berbangga-lah dengan identitas kesantrian kita,” Pungkas Triyono.

Dhestina Religia Mujahid, menjelaskan untuk menjadi role model perubahan, santri harus lebih dahulu mengenali diri sendiri. Artinya, santri harus memiliki kemampuan untuk memahami diri secara utuh, seperti memahami jati diri dan identitasnya, mampu mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan, serta mampu memaksimalkan potensi diri dan memperbaiki kekuranan dalam diri.

Santri remaja yang saat ini belajar di pondok pesantren, menurut Bu Gia, panggilan akrabnya– perlu mengetahui dirinya dengan baik. Beliau mengingatkan bahwa seseorang, termasuk santri akan mengalami masalah emosional seperti mudah marah dan sedih serta kebingungan dalam menentukan orientasi dan tujuan hidup jika tidak dapat memahami diri dengan baik. Dengan mengetahui identitas diri, individu dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan diri, lebih mudah mengelola suasana hati, serta lebih bijak dan tenang jika dihadapkan dengan situasi sulit. Mengetahui kelebihan diri dengan baik, individu dapat mengasah kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Pada akhirnya, seorang individu yang telah mengetahui jati diri dan memaksimalkan potensi diri dapat bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk umat.

Di kesempatan selanjutnya, Vera Imanti menjelaskan tentang perlunya meng-upgrade diri. Upgrade diri merupakan hal yang penting. Terdapat lima alasan mengapa hal tersebut penting, yaitu: 1) Ingatlah bahwa Allah SWT melihat semua perbuatan kita, maka lakukanlah hal-hal yang baik dan positif, 2) ketika mengupgrade diri, maka dapat bermanfaat juga untuk orang lain. Bisa membantu lingkungan, membantu keluarga, dan lain-lain, 3) ilmu, isilah diri kita dengan ilmu, ilmu yang didapat dari mana saja. Bahwa jika lautan itu tinta, dan bumi adalah penanya, maka tidak akan cukup tinta itu untuk menuliskan semua ilmunya Allah, 4) perkembangan zaman yang semakin maju, maka diri ini harus siap untuk beradaptasi, jangan sampai kita manusia yang dikendalikan oleh tekhnologi, dan 5) mencipatakan kerukunan.

“Dengan mengingat poin 1, 2, dan 3,kita pastinya akan memilih untuk menjauhkan diri dari konflik, justru dengan ilmu dan ketaqwaan pada Allah kita akan mencipatakan kerukunan,” tegas Vera Imanti.

Di akhir pemaparan, Bu Vera, -panggilan akrapnya- memberikan tips sederhana agar santri dapat meningkatkan kebiasaan baik. Dengan kebiasaan dan perilaku yang ditampakkan, maka hal tersebut akan menjadi identitas diri yang melekat. Aplikasi tips tersebut berupa permainan mengenal diri dari orang lain melalui teknik Johari Window. Para santri saling bertukar kertas untuk menilai kelebihan dan kekurangan dari teman mereka sendiri.

 

Teori Johari window menurut Vera Imanti, merupakan teori tentang perilaku maupun pikiran yang ada di dalam diri sendiri maupun di dalam diri orang lain. Konsep teori Johari window memiliki empat ruang atau empat perspektif yang masing-masing memiliki istilah dan makna yang berbeda. Setiap makna mengandung pemahaman-pemahaman yang mempengaruhi pandangan seseorang. Apakah perilaku, perasaan, dan kesadaran yang dimiliki hanya dapat dipahami oleh dirinya sendiri, hanya dipahami oleh orang lain, atau keduanya dapat memahaminya. Johari window dapat digunakan untuk membantu orang dalam memahami hubungan antara dirinya sendiri dan orang lain.

Acara pengabdian kepada masyarakat ini bertempat di salah satu ruang madrasah dan  diikuti perwakilan guru (asatidz), santri yang berjumlah 30 orang, dan mahasiswa Psikologi Islam. Kegiatan pengabdian diakhiri dengan penyerahan kenang-kenangan kepada perwakilan santri dan foto bersama. (Ditulis oleh Triyono/Gia/Vera)